TUJUAN PERNIKAHAN
Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UU No. 1 Th. 1974 Pasal 1). Perkawinan
menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuata atau mitsaqan
ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah
(KHI Pasal 2). Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. (KHI pasal 3).
Syaikhona
Kholil bin Abdul Latif Al-Bankilani menyebutkan bahwa tujuan pernikahan adalah memperoleh
kesenangan dengan pasangan, menundukkan pandangan, dan anak yang sholih[1]. Dari ketiga referensi tersebut, tujuan
pernikahan adalah:
1.
Beribadah
kepada Allah SWT serta mengikuti sunnah Rasulullah SAW
Manusia dan seluruh makhluk diciptakan Allah SWT tidak lain adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur'an Surat Adz-DZariyat Ayat 56
Artinya : Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Tujuan
beribadah merupakan kunci dari setiap yang dikerjakan manusia. Segala sesuatu
akan terasa nikmat, menyenangkan, dan tanpa beban apabila segala sesuatu
diniati karena beribadah kepada Allah SWT dan ikhlas lillahi Ta'ala.
Syaikh Ibnu 'Athoillah Al-Sakandari di dalam Kitab Al-Hikam menyebutkan
Artinya : Tanda seseorang mengandalkan amalnya (pekerjaannya) adalah berkurangnya pengharapan ketika terjadi kegagalan.
Di
dalam konsep berkeluarga, ataupun konsep apapun sangat memungkinkan terjadinya kegagalan.
Setiap manusia sudah selayaknya mengharapkan kehidupan yang layak, mapan,
bahkan lebih baik untuk dirinya sendiri termasuk untuk keluarga, istri, dan
anak-anak mereka. Dalam rangka mewujudkan angan dan cita-citanya tersebut,
mereka kerja keras, banting tulang, dan tidak jarang mereka berangkat berangkat
pagi dan pulang malam untuk keluarga tercinta.
Jika
ternyata realita hasilnya tidak sesuai cita-cita atau mengalami kegagalan,
apakah kemudian berputus asa? Orang yang berputus asa dari sebuah kegagalan
adalah orang yang mengandalkan amal atau pekerjaannya saja. Sedangkan orang
yang bergantung kepada Allah, melakukan segala sesuatu berdasarkan ibadah dan
keyakinan akan kehendak Allah SWT, tidak akan pernah berputus asa.
Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur'an Surat Yusuf ayat 87
Artinya : Hai anak-anakku, Pergilah kamu, Maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir".
Dalam
konsep berkeluarga, hal ini sangat penting agar tidak terjadi goncangan dalam
berumah tangga. Kegagalan dalam sebuah hal adalah sebuah kemungkinan. Namun
orang yang beruntung adalah orang yang mampu bangkit dari kegagalan untuk
mencapai kesuksesan yang sesungguhnya.
Allah berfirman di dalam Al-Qur'an Surat Al-Hijr Ayat 56
Artinya : Ibrahim berkata: "tidak ada orang yang
berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat".
Al-Qur'an Surat al-Hajj ayat 38
Artinya : Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat.
Maka
dari itu, pernikahan yang berlandaskan ibadah kepada Allah SWT dan mengikuti
Sunnah Rasulullah SAW tidak mudah goyah dan tumbang. Ketika mendapatkan ni'mat,
mereka akan bersyukur kepada Allah karena meyakini bahwa ini semuanya adalah
dari Allah SWT. Sedangkan ketika mendapatkan ujian, cobaan, dan kegagalan,
mereka tidak berputus asa, tidak goyah imannya. Mereka tetap sabar, tabah, dan
tidak putus asa, karena bergantungnya mereka bukan kepada amal perbuatan atau
pekerjaan, melainkan hanya kepada Allah SWT.
2.
Membangun
keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah
Dalam hal tujuan pernikahan, yaitu sakinah, mawaddah dan rahmah, Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur'an Surat Ar-Ruum Ayat 21
Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Keluarga
yang bahagia adalah keluarga yang di dalamnya terdapat ketenangan lahir dan batin. Sakinah
mempunyai andil yang sangat besar dalam rangka mengarungi bahtera rumah tangga.
Keluarga yang tenang menjadi pemicu lancarnya rizki. Keluarga yang tenang
menjadi pemicu lahirnya keturunan yang sholih/sholihah serta berkualitas.
Keluarga yang tenang menjadi pemicu keharmonisan hubungan baik internal
keluarga ataupun hubungan sosial
lainnya.
3.
Menundukkan
pandangan
Syaikhona
Kholil bin Abul Lathif Al-Bankilani menyebutkan bahwa tujuan pernikahan adalah
mendapatkan kesenangan dengan pasangan, menundukkan pandangan, dan anak yang
sholih/sholihah. Tujuan pertama merupakan bagian dari konsep keluarga sakinah
yang akan penulis jelaskan di dalam bab tersendiri.
Menundukkan pandangan di sini maksudnya adalah menjauhkan diri dari perbuatan maksiat, keji dan mungkar yaitu zina. Sebagaimana Firman Allah SWT di dalam Al-Qur'an Surat Al-Isra' Ayat 32
Artinya : Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.
Banyak
literature klasik, kitab-kitab kuning yang disusun oleh para ulama' yang
menyebutkan bahwa pernikahan sangat dianjurkan bagi orang yang taiq lil
wath'i, yaitu orang yang mempunyai keinginan kuat untuk melakukan hubungan
suami istri. Orang yang sudah mempunyai hasrat kuat untuk bersama dengan lawan
jenis. Bahkan orang yang seperti ini, jika tidak kuat menahan nafsunya sehingga
dikhawatirkan terjerumus ke dalam perzinahan, hukum nikah baginya adalah wajib
jika terpenuhi persyaratan-persyaratan lainnya seperti mampu menafkahi, dan
sebagainya.
Keinginan
dan kecondongan seseorang kepada lawan jenis adalah fitrah dan keniscayaan bagi
manusia. Oleh karena itu, keniscayaan ini harus diatur sebaik mungkin dalam
sebuah aturan yang jelas yaitu pernikahan.
4.
Membangun
peradaban
Salah
satu tujuan pernikahan sebagaimana disampaikan oleh Syaikhona Kholil adalah
memperoleh anak yang sholih/sholihah yang mendoakan orang tuanya. Hal ini
adalah sebuah proses membangun peradaban manusia. Seandainya semua manusia di
dunia ini tidak ada yang mempunyai keturunan, maka yang terjadi adalah
kepunahan peradaban manusia.
Untuk
membangun peradaban manusia yang baik dibutuhkan keturunan-keturunan manusia
yang berkualitas, berbudi pekerti luhur, dan tentunya jelas asal-usulnya. Hal
ini bisa diperoleh melalui suatu proses pernikahan. Jika tanpa pernikahan,
kemudian melahirkan anak, maka yang terjadi adalah kerancuan asal-usul, nasab,
dan silsilah. Dari kerancuan nasab ini, berakibat lahirnya keturunan yang
lemah, tidak jelas siapa yang menanggung biaya pendidikannya, tidak jelas siapa
yang wajib menafkahinya, dll.
Banyak
kasus orang tua yang tidak bertanggung jawab membuang anaknya di jalan-jalan.
Biasanya anak tersebut adalah anak yang lahir dari hubungan gelap atau hubungan
zina. Apa yang terjadi jika ternyata anak tersebut kemudia dipungut oleh
penjahat? Apa yang terjadi jika anak tersebut kemudian ditemukan dan dipungut
oleh mucikari, dan lain sebagainya?
Oleh karena itu, bagi yang sudah memenuhi persyaratan, menikahlah, sebagaimana Hadits Rasulullah SAW
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ
اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ
وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ
لَهُ وِجَاءٌ.
Artinya : “Wahai
para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka
menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi
farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum
(puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.” (HR Bukhari, Muslim,
Tirmidzi, dan lainnya).